Kekerasan Seksual dan Lambannya Proses Penegakan Hukum: Suara dari Ketua Rayon PMII STAI UNILAM
Table of Contents
(RI) ~ Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terus menjadi permasalahan serius di Indonesia. Meski berbagai kebijakan telah dirancang untuk menekan kasus kekerasan seksual, kenyataannya penanganan kasus ini sering kali lambat dan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban. Ketua Rayon PMII STAI UNILAM, Muhandis, dengan tegas menyuarakan kritik terhadap lambannya tindakan Kapolres Lebak dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Muhandis menyoroti bahwa pelecehan seksual adalah tindakan yang tidak diinginkan, tidak pantas, dan bersifat seksual. Tindakan ini memiliki dampak besar bagi korban, baik secara psikologis, sosial, maupun fisik. Berikut ini adalah ulasan mendalam mengenai isu tersebut, dampaknya, dan bagaimana keadilan bagi perempuan sering kali menjadi misteri yang sulit diwujudkan.
Pelecehan seksual tidak hanya merujuk pada tindakan fisik, tetapi juga pada perilaku verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan tidak diinginkan oleh korban. Tindakan ini dapat berupa komentar, sentuhan, hingga tindakan kekerasan seksual yang lebih berat.
Muhandis menyoroti dampak serius yang ditimbulkan pelecehan seksual terhadap korban, di antaranya:
1. Trauma Psikologis
Korban pelecehan seksual sering mengalami stres, kecemasan, dan depresi yang berkepanjangan. Trauma ini dapat membayangi kehidupan korban hingga bertahun-tahun setelah kejadian.
2. Kehilangan Kepercayaan Diri
Perasaan tidak aman dan rendah diri sering kali dialami oleh korban pelecehan seksual. Mereka merasa terasing dan tidak mampu menjalani kehidupan secara normal.
3. Dampak Sosial
Korban sering kali merasa sulit berinteraksi dengan orang lain karena takut dihakimi atau dipandang rendah. Isolasi sosial ini dapat memperburuk kondisi psikologis mereka.
Rahim Perempuan : Universitas Keadilan Pertama
Muhandis mengemukakan konsep yang menarik mengenai perempuan sebagai simbol keadilan. Menurutnya, rahim perempuan adalah tempat pertama di mana keadilan diajarkan. Sejak hamil, seorang ibu berbagi hidup dengan bayinya, memberikan pelajaran pertama tentang berbagi dan keseimbangan.
Ia juga menambahkan bahwa kecerdasan manusia diwariskan oleh ibu melalui rahim dan ASI. Dengan demikian, rahim perempuan adalah "training center" pertama bagi generasi berikutnya. Namun, ironisnya, perempuan yang memiliki peran vital ini sering kali menjadi korban ketidakadilan, termasuk dalam kasus kekerasan seksual.
Salah satu kasus nyata yang disoroti oleh Muhandis adalah seorang perempuan berinisial M yang menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh mantan pacarnya. Hampir sebulan setelah melapor dan menjalani visum, tidak ada kejelasan mengenai kasus tersebut. Bahkan hasil visum yang seharusnya keluar dalam 24 jam hingga kini belum tersedia.
Muhandis mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penanganan kasus ini. Menurutnya, keadilan bagi perempuan sering kali terasa seperti "misteri" yang sulit dipahami oleh laki-laki. Penderitaan yang dialami perempuan tidak hanya terbatas pada masa kini, tetapi juga mencakup kekhawatiran terhadap masa depan mereka.
Kasus ini mencerminkan berbagai hambatan dalam sistem penegakan hukum terkait kekerasan seksual, seperti:
1. Lambatnya Proses Administrasi
Hasil visum yang seharusnya menjadi bukti utama dalam kasus ini memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
2. Minimnya Sensitivitas Aparat Penegak Hukum
Banyak kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani dengan serius oleh aparat penegak hukum. Hal ini membuat korban kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.
3. Stigma Sosial
Korban sering kali harus menghadapi stigma dan stereotip negatif dari masyarakat, yang membuat mereka enggan melapor atau melanjutkan proses hukum.
Muhandis menyerukan kepada masyarakat untuk tidak hanya diam melihat ketidakadilan yang dialami perempuan. Ia mengajak semua pihak untuk lebih peduli dan mendukung korban kekerasan seksual, baik melalui advokasi, pendampingan, maupun tekanan kepada aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat dan adil.
Perempuan, sebagai pilar utama dalam pembentukan generasi mendatang, harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Ketidakadilan yang mereka alami tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Mempercepat Proses Hukum
Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa setiap laporan kekerasan seksual ditindaklanjuti dengan cepat dan transparan.
2. Meningkatkan Sensitivitas Gender
Pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum diperlukan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang isu-isu gender dan dampak kekerasan seksual.
3. Menghapus Stigma
Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya mendukung korban kekerasan seksual dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran publik.
Kekerasan seksual adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari semua pihak. Ketua Rayon PMII STAI UNILAM, Muhandis, dengan tegas mengingatkan bahwa perempuan adalah simbol keadilan pertama yang harus dilindungi. Kasus perempuan berinisial M adalah salah satu contoh bagaimana sistem hukum sering kali gagal memberikan keadilan bagi korban.
Dibutuhkan komitmen bersama untuk memastikan bahwa keadilan tidak lagi menjadi misteri bagi perempuan, tetapi menjadi hak yang dapat mereka akses dengan mudah. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua, terutama bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Post a Comment