(RI) ~ Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan sebagai upaya pemenuhan gizi anak-anak sekolah justru menjadi bumerang di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Puluhan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Talang Ubi dilaporkan mengalami gejala keracunan massal usai menyantap makanan yang disediakan dalam program tersebut, Senin (5/5/2025).
Para siswa dilarikan ke Rumah Sakit H. Anwar Ma’akil dalam kondisi mual, muntah, dan lemas. Meski tidak sampai merenggut nyawa, peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam, baik bagi korban maupun orang tua mereka. Kuat dugaan, insiden tersebut terjadi akibat kelalaian dalam proses pengolahan makanan, yang disebut-sebut tidak mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan.
Menanggapi tragedi ini, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIT Mamba’ul Hikam PALI, Intan Khoirunnisa, menyampaikan pernyataan tegas dan penuh keprihatinan. Ia menilai, program yang semestinya menjadi wujud kepedulian terhadap kesehatan anak justru telah berubah menjadi ancaman nyata.
“Keprihatinan yang sangat mendalam mengenai program makan gizi gratis. Dengan adanya program tersebut menyebabkan sejumlah siswa SD banyak yang keracunan,” ujar Ketua BEM.
Menurut Intan, peristiwa ini mencerminkan kelemahan sistemik dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan program MBG di lapangan. Ia menekankan pentingnya evaluasi komprehensif terhadap seluruh rantai distribusi dan penyajian makanan, mulai dari pengadaan bahan baku hingga proses penyajian ke peserta didik.
“Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh untuk kualitas makanan yang disajikan, yang seharusnya membantu pemenuhan gizi malah sebaliknya menjadi ancaman bagi mereka. Dengan ini saya selaku ketua BEM mendesak pemerintah dengan tegas untuk mengusut tuntas masalah ini secara transparan dan profesional,” pungkasnya.
Pernyataan tersebut memperkuat tekanan publik agar pemerintah daerah bertindak cepat dan tidak menutup-nutupi fakta di lapangan. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas mengemuka, mengingat program MBG melibatkan anggaran publik yang tidak kecil dan menyasar kelompok rentan: anak-anak usia sekolah dasar.
Di tengah maraknya program gizi nasional yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah, kasus ini memperlihatkan bahwa keberhasilan inisiatif sosial tidak hanya ditentukan oleh niat baik, tetapi juga oleh kontrol mutu dan implementasi teknis yang ketat. Pengawasan internal dan eksternal menjadi kunci untuk memastikan keamanan pangan, terutama di lingkungan pendidikan.
Tragedi keracunan ini diharapkan menjadi titik balik untuk memperbaiki skema program serupa di masa depan. Pemerintah perlu melibatkan lebih banyak pihak, termasuk lembaga pendidikan, ahli gizi, dan masyarakat sipil untuk membangun sistem distribusi makanan yang aman, sehat, dan bermartabat bagi generasi penerus bangsa.