(RI) ~ Beijing, 27 April 2025, Dalam sebuah kondisi yang bisa jadi akan mempu mencatat dalam sejarah olahraga dan teknologi, Beijing Half Marathon 2025 merupakan saksi pertarungan epik antara teknologi dan tenaga murni manusia. Walau pada moment ini dunia teknologi berharap banyak, kenyataan di lintasan membuktikan manusia masih unggul dalam berlari.
Joseph Kiptoo
Joseph Kiptoo, atlet asal Kenya, menuntaskan setengah maraton sejauh 21 kilometer dengan waktu 1 jam 2 menit, melaju dengan kecepatan rata-rata 20,4 km/jam. Di sisi lain, robot tercepat X-RUNNER V3 buatan Xiaomi Robotics tertinggal jauh, menyelesaikan lomba dalam waktu 2 jam 17 menit dengan kecepatan 9,6 km/jam.
Kompetisi ini bukan sekadar pameran inovasi. Ia adalah eksperimen terbuka mengenai seberapa jauh teknologi robotik telah berkembang pada era sekarang ini, dan di mana batasannya.
“Robot kami dirancang untuk mempertahankan kecepatan stabil. Namun, lingkungan nyata jauh lebih kompleks daripada yang bisa diprediksi dalam simulasi,” ujar Zhang Min, Kepala Divisi Inovasi Xiaomi Robotics, dikutip dari China Tech Review (2025).
Dari total 23 robot yang ikut serta, lebih dari 70% gagal menyelesaikan lomba. Banyak yang mengalami overheating pada baterai, error pada sensor LIDAR saat berhadapan dengan kerumunan, hingga kehilangan keseimbangan di tikungan tajam. (South China Morning Post, 2025).
Diimitasi oleh kecerdasan buatan
Manusia, sebaliknya, menunjukkan fleksibilitas adaptif yang masih sulit diimitasi oleh kecerdasan buatan. Perubahan cuaca, jalan yang tidak rata, hingga tekanan dari pelari lain justru memicu pelari manusia untuk mengatur ulang strategi di tengah lomba, sesuatu hal yang sekarang ini di luar jangkauan kecerdasan buatan, sebagaimana yang telah dijabarkan dalam penelitiannya Nature Robotics (2024).
“Adaptasi cepat dan pengambilan keputusan intuitif tetap menjadi keunggulan biologis,” kata Prof. Liang Wei, pakar robotika dari Tsinghua University. “Robot bisa memproses data dalam milidetik, tapi manusia bisa membaca konteks dan bertindak secara kreatif, bahkan dalam situasi tak terduga.”
Lebih jauh, aspek mental endurance — semangat, rasa takut, ambisi, juga menjadi pembeda yang sangat besar. Robot tidak mengenal makna kemenangan atau kekalahan; mereka sekadar menyelesaikan instruksi. Sedangkan bagi manusia, garis akhir adalah representasi dari perjuangan personal.
“Teknologi akan terus mengejar,” ungkap Dr. Hannah Liu, analis tren AI di Global Tech Forum. “Tetapi untuk lomba ketahanan seperti maraton, manusia masih menjadi makhluk paling sempurna di planet ini.”
Membaca Masa Depan
Kompetisi ini mengindikasikan bahwa dalam 5-10 tahun ke depan, robot mungkin dapat mengungguli manusia dalam lomba sprint atau kompetisi berbasis konsistensi mekanik. Namun untuk ajang yang membutuhkan kecerdasan taktis, kreativitas gerak, dan ketangguhan emosional, manusia diperkirakan akan tetap mendominasi.
Dalam sebuah catatan editorialnya, The Guardian (2025) menulis tentang, “Beijing Marathon 2025 bukan tentang siapa yang tercepat, karena Ini tentang merayakan keseluruhan manusia, sesuatu yang bahkan kecerdasan buatan paling tercanggih sekali pun belum bisa memahami dan menandingin secara keseluruhan.”Pungkasnya




