(RI) ~ Menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dan modernitas tidak selalu sejalan dengan peningkatan moralitas. Ironisnya, tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan pembentuk karakter justru menjadi lokasi terjadinya pelanggaran etika yang serius. Indonesia kini tidak hanya menghadapi krisis hukum, tetapi juga krisis nilai yang mendalam, di mana rasa empati, keadilan, dan integritas kian luntur dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Baca Juga : Persoalan Izin Pertambangan Rakyat Kabupaten Lebak
Beberapa Kasus yang Terjadi
Baru-baru ini, masyarakat dibuat gempar oleh kasus seorang pegawai kampus yang dituding menghamili mahasiswi tanpa adanya hubungan asmara, melainkan melalui penyalahgunaan posisi dan kekuasaan dalam relasi mereka.
Beberapa Kutipan
Dikutip dari detik.com bahwa dalam kasus lain, seorang dosen terlibat dalam praktik menyimpang yang diselubungi narasi keagamaan bertajuk “zikir zakar”, menyulut kemarahan masyarakat akademik dan keagamaan.
Parahnya yang lebih memprihatinkan, seorang tokoh yang dikenal dengan nama Walid Lombok dilaporkan telah melecehkan 22 santriwati selama hampir sepuluh tahun. Pelaku, yang semestinya menjadi pembimbing spiritual, justru mengkhianati amanah keagamaan dan kepercayaan umat.
Dilansir dari lombok.post.jawapos.com bahwa tidak berhenti di sana, banyak kasus yang mencederai nilai dasar kemanusiaan juga mencuat dari ranah domestik, ada seorang ayah dilaporkan tega menghamili anak kandungnya sendiri.
Prilaku Tidak Senonoh
Di tempat lain, seorang pasien menjadi korban pemerkosaan yang berujung kematian, peristiwa yang menggambarkan penurunan moral paling ekstrem dalam masyarakat dari semua kejadian tersebut.
Baca Juga : Diduga Banyak Pesantren di NTB Rawan Predator Seksual
Fenomena
Fenomena ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menjaga kompas moral bangsa. Lembaga yang selama ini dianggap sebagai benteng terakhir akhlak—agama, pendidikan, dan keluarga—tak luput dari infiltrasi oknum yang tak lagi takut dosa, malu pada sesama, atau peduli pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pengamat sosial menilai bahwa pembiaran terhadap budaya bungkam dan normalisasi kekerasan menjadi faktor utama yang memperparah situasi. Perlindungan terhadap pelaku atas nama “aib” atau “nama baik institusi” justru melanggengkan ketidakadilan dan mengorbankan keberanian korban untuk bersuara.
Langkah Kongkret
Kini, tuntutan moral semakin mendesak : masyarakat dan pemangku kebijakan harus berdiri di pihak korban, melawan kekerasan dalam segala bentuknya, serta mengembalikan fungsi institusi sebagai penjaga nilai luhur. Diam bukan lagi pilihan, karena sikap bungkam justru menjadi bentuk kekalahan paling tragis bagi bangsa yang menjunjung tinggi religiusitas dan budaya ketimuran.