(RI) ~ Fenomena demonstrasi sebagai bentuk manifestasi dari gerakan sosial, sering kali dipahami sebagai ekspresi murni dari ketidakpuasan kolektif terhadap kebijakan atau kondisi politik yang ada saat ini dan sebelumnya. Namun, analisis yang lebih mendalam, seperti yang disajikan dalam video yang diunggah oleh seorang konten kreator Raymond Chin, mengundang kita untuk meninjau kembali asumsi tersebut. Opini ini berargumen bahwa aksi massa, meskipun berawal dari keresahan publik yang otentik, dapat dimanipulasi melalui strategi yang menyerupai deception warfare (perang tipu daya) untuk mencapai tujuan agenda politik tertentu.
Awal mula gerakan demonstrasi sering kali berakar pada kondisi sosio-ekonomi yang genting. Seperti yang diindikasikan dalam video, isu-isu seperti inflasi, kesulitan ekonomi, dan ketidaksetaraan sosial menjadi dasar yang memicu ketidakpuasan. Ini sesuai dengan teori deprivasi relatif dalam sosiologi, yang menjelaskan bahwa revolusi atau protes massa terjadi ketika kesenjangan antara harapan dan realitas hidup masyarakat melebar. Dalam konteks ini, narasi keadilan menjadi “bendera” yang dikibarkan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa bendera tersebut adalah “false flag of justice” (bendera keadilan palsu).
Konsep “false flag” ini merujuk pada taktik di mana insiden provokatif, seperti aksi anarkis atau perusakan fasilitas publik, dilakukan oleh pihak ketiga dan kemudian dilekatkan pada kelompok demonstran yang sesungguhnya, khususnya mahasiswa. Tujuannya adalah untuk mendiskreditkan atau berusaha untuk menjelekkan idealisme gerakan, mengaburkan tujuan aslinya, dan menciptakan justifikasi bagi respons represif dari aparat keamanan. Jika taktik ini benar adanya, maka gerakan massa yang tadinya didasari oleh aspirasi murni dan suci, dapat berubah menjadi alat untuk menciptakan kekacauan yang terstruktur dan sistematis.
Selanjutnya, kekacauan ini dapat dimanfaatkan untuk mengimplementasikan strategi “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) di tingkat elit politik. Aktor-aktor yang kemudian bersaing dalam perebutan kekuasaan dapat menggunakan demonstrasi yang telah dimanipulasi sebagai senjata untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Masyarakat, tanpa disadari, terpecah menjadi dua kubu, mereka yang mendukung gerakan dan mereka yang menolaknya, yang pada akhirnya melemahkan hubungan sosial dan melemahkan persatuan nasional.
Secara keseluruhan, pandangan yang disajikan dalam video tersebut memberikan kontribusi penting untuk memahami kompleksitas gerakan sosial di era modern. Ia menantang pandangan naif bahwa demonstrasi selalu merupakan ekspresi murni dari kehendak rakyat. Sebaliknya, ia mengedepankan hipotesis bahwa aksi massa bisa menjadi panggung bagi “perang tipu daya” yang dimainkan oleh berbagai aktor politik. Oleh karena itu, diperlukan literasi kritis dari masyarakat untuk mampu menganalisis setiap peristiwa politik, tidak hanya dari narasi permukaan, tetapi juga dari dinamika kekuasaan yang tersembunyi dan terselubung.
Oleh : Bayu Nicola Hasbiallah
(Mahasiswa Fakultas Hukum Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unram)