(RI) ~ Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)
RUU TNI yang baru-baru ini dibahas di Jakarta telah menarik perhatian banyak pihak. Diskusi mengenai RUU ini, yang berlangsung di sebuah hotel mewah di Senayan pada 17 Maret 2025, memicu polemik, terutama di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Mengingat sejarah ketegangan politik yang melibatkan militer pada era Orde Baru, masyarakat khawatir terhadap dampak regulasi ini. Apa saja pro dan kontra terkait RUU TNI ? Berikut ulasannya.
Pro RUU TNI: Keamanan yang Lebih Terjamin?
Salah satu alasan mendukung RUU TNI adalah peningkatan ketegasan dan keadilan yang dapat diberikan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjalankan pemerintahan. Berdasarkan survei Katadata Januari 2024, tingkat kepercayaan publik terhadap TNI mencapai 89%. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa lebih aman dan percaya pada integritas TNI dalam menjaga stabilitas negara.
RUU TNI dianggap mampu mengurangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahan. Pasal 47 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa anggota TNI dapat menduduki jabatan di 16 kementerian, asalkan telah mengundurkan diri dari posisi militernya. Hal ini memungkinkan tentara berkontribusi dalam pemerintahan tanpa mengganggu tugas utama mereka.
Selain itu, proponen RUU TNI menilai keterlibatan TNI dalam pemerintahan dapat memperkuat ketahanan nasional. Dalam menghadapi ancaman global, pandangan strategis dari militer sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas negara.
Kontra RUU TNI: Kembali ke Era Otoritarian?
Banyak pihak khawatir bahwa RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru. Saat itu, militer memiliki peran ganda, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan pengelola pemerintahan. Akibatnya, kebebasan politik terancam, dan banyak aktivis menjadi korban penculikan paksa. Jika kebijakan ini diberlakukan, kontrol militer terhadap pemerintahan bisa semakin besar.
Keterlibatan TNI dalam pemerintahan juga berisiko mempersempit peluang bagi masyarakat sipil untuk berkontribusi di bidang politik dan birokrasi. Posisi strategis yang sebelumnya dapat diisi oleh pejabat sipil kini dapat diambil oleh mantan prajurit TNI. Akibatnya, kompetisi dalam sektor pemerintahan menjadi tidak seimbang.
Penolakan terhadap RUU ini juga didasarkan pada prinsip keseimbangan antara militer dan sipil. Jika dominasi militer dalam pemerintahan terlalu besar, demokrasi yang telah dibangun pasca-reformasi bisa terganggu. Selain itu, konflik antara institusi militer dan sipil dikhawatirkan dapat memicu ketidakstabilan politik.