Perkataan Presiden Pertama
Tidak heran Bung Karno pernah mengatakan dengan lantang, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncangkan dunia.”Tegasnya. Tentu, ini bukan sekadar slogan atau jargon, melainkan gambaran betapa pentingnya peran pemuda dalam menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan yang telah diwariskan oleh leluhur, dalam bertindak melawan penjajahan dan duduk santai berdiplomasi untuk bermusyawarah. Semua kondisi tersebut harus dipahami dengan nalar dan sikap yang cerdas guna menunjang pencapaian yang optimal.
Kesepakatan dan Pengakuan
Secara de facto, Indonesia telah merdeka sejak Proklamasi, yang kemudian disusul dengan perjanjian Linggar Jati, kesepakatan Renville, dan perundingan Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Semua proses kejadian yang teramat sulit dan mendesak telah berhasil dilalui. Sebagian besar perjuangan dijembatani oleh tulang punggung pemuda yang rela mewakafkan jiwa dan segenap tumpah darahnya untuk negeri. Justru, berada di puncak kebebasan dari penindasan kolonialisme merupakan kehendak bersama.
Kaca Pandang Faktual
Naasnya, de jure yang didapat oleh bangsa saat ini hanya sebatas kemerdekaannya saja, bukan esensinya. Mengapa demikian ? Ya, kita bisa melihat betapa mirisnya negeri ini dengan ribuan kebudayaannya, namun dijajah oleh kaum imperialis Barat dengan dalih kekinian, sehingga para pemuda kehilangan jati dirinya. Kaum kapital dari luar negeri menguasai subsektor perdagangan, memadamkan produk lokal, dan melumpuhkan inovasi karena kurangnya apresiasi, yang membuat Indonesia menjadi peringkat ke-empat sejak 2019 dalam kategori Konsumen Optimis secara global.
Logical Fallacy
Seharusnya, bukan sebuah kebanggaan mengikuti tren perkembangan zaman sehingga melupakan kebudayaan lokal, dan bukan sebuah penghargaan berada di peringkat lima besar konsumen terbaik dunia. Melainkan, ini adalah bentuk penjajahan secara adat dan ekonomi, karena masyarakat sedikit banyak menganggap kebudayaan sendiri itu kuno serta tidak mampu membuat produk yang sekiranya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa adanya campur tangan negara asing.
Ketergantungan
Ketergantungan terhadap orang lain memang mendarah daging, dengan dibuktikan adanya pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya serta memiliki perspektif bahwa Indonesia tidak akan mampu, walau hanya membangun rel kereta api sekalipun. Jelas, semua perkataan ini harus dimusnahkan tanpa tersisa, dan mampu dibuktikan secara nyata.
Social Change
Menjadi pusat sentrum berpikir dan gerakan sudah selayaknya ada pada pemuda dalam menyongsong masa depan yang terkemuka, penuh prestasi dan inovasi dalam membangun Negeri Ibu Pertiwi. Tidak peduli, walau harus menjadi tangga yang rela diinjak-injak dan jembatan yang tidak akan roboh meski menjadi pijakan ribuan kaki untuk bisa mengantarkan regenerasi selanjutnya ke arah perubahan sosial yang lebih berdedikasi.
Problrmatika
Ini bukan lagi persoalan eksistensial, melainkan bagaimana seorang pemuda mempunyai sikap kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sekitar dan melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk bisa menjadi agen intelektual di tengah masyarakat awam. Mampu mengontrol lingkungan dengan kerangka berpikir dan bertindak secara cermat, tanpa adanya rasa takut dan bimbang dalam mencetuskan ide dan gagasan yang menunjang keberhasilan.
Generasi Zet
Ditambah lagi dengan adanya sebutan “Generasi Z” yang mempunyai pola pikir bahwa segala sesuatu yang di inginkan harus diperoleh secara instan tanpa melalui proses yang begitu amat terjal. Sangat naïf jika seorang pemuda berada di lingkaran iblis ini, karena kita semua tahu bahwa proses pra-kemerdekaan hingga merdeka itu tidak berlangsung dengan cara yang singkat. Sudah jelas, proses pertumpahan keringat, air mata, dan darah diperlukan untuk mengiringi setiap perjuangan.
Pola Hidup Non-Produktif
Budaya mageran (malas gerak) dan galau berlebihan menumbangkan mental dan gerakan; sudah pasti perubahan mustahil untuk dilakukan. Sedikit mengutip perkataan Bung Kecil, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, maka tidak akan pernah dimenangkan.” Harusnya ini menjadi gebrakan keras bagi penerus generasi agar terus mempertaruhkan hidupnya untuk mengamalkan nilai-nilai perjuangan yang telah diwariskan agar tidak sirna dalam genggaman egoisme individual.
Social Justice
Seorang terdidik dan terpelajar sudah selayaknya adil dalam pemikiran, apalagi dalam tindakan dan perkataan. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan bahwa hal ini seharusnya menjadi acuan pembelajaran sekaligus gertakan dalam semua kegiatan yang harus disertakan dengan prinsip keadilan, terutama dalam konteks sosial. Mengutamakan kepentingan negara dibandingkan pribadi merupakan acuan nasionalisme yang harus dimiliki oleh para tokoh penggerak.
Tujuannya adalah bahwa mati dalam postulat keadilan lebih terhormat dibandingkan hidup dengan kesuksesan yang disertai kemunafikan. Tidak jarang, konsep pemikiran ideal ditikam realitas yang kejam dengan dalih kebutuhan, sehingga mengakibatkan melayangnya bendera putih dalam jiwa. Idealisme merupakan alat perang terakhir yang dimiliki oleh para pemuda, dan itu yang digaungkan oleh Ibrahim Tan Malaka dalam mengawal kebijakan pemerintah dengan pemikiran kritisnya.
Poko-Pokok Rekomendasi
Regulasi yang dibuat oleh pemangku kebijakan tidak semerta-merta disetujui tanpa adanya uji coba terhadap masyarakat yang akan menjalankan dan mematuhi aturan tersebut. Namun demikian, jika ada peraturan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan, wajib bagi kaum intelektual muda untuk menjadi garda terdepan dalam mengevaluasinya. Sebab, semua ketetapan yang disetujui oleh pemerintah harus tetap dikawal agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Pada faktanya, memperoleh hak-hak yang sesuai dengan kebutuhan bersama sangatlah sulit, karena melihat kondisi regenerasi saat ini yang mengalami krisis literasi, mentalitas, dan cenderung apatis dalam bersikap. Mau bagaimana mendapatkan keadilan jika prosesnya tidak ditempuh dengan pemikiran yang terbuka? Membantah tanpa data bukanlah ciri khas kaum pemuda, yang seharusnya menjadi titik sentris dari setiap permasalahan yang ada.
Fenomena
Sangat miris di kondisi sekarang ini, karena banyak ditemukannya anak SLTA yang tidak bisa membaca, mahasiswa yang tidak mampu mengambil inti sari dari tugas-tugasnya, kecanduan judi online, kecanduan miras dan obat-obatan terlarang, serta seks bebas yang bukan lagi rahasia umum dan bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja, asalkan ada uang. Coba bayangkan seorang pemuda yang memiliki nalar yang lemah dan berbagai macam kecanduan negatif. Bagaimana ia mampu bertahan dan melanjutkan kehidupan hingga mencapai kesuksesan ? Bukannya keadilan yang diperoleh masyarakat, melainkan kejahatan yang akan terus meningkat.
Penunjang keadilan harus dituntun dengan intelektualitas yang kuat dan sudut pandang yang ditempuh secara holistik. Bagaimana ini bisa dilakukan jika banyak pemuda yang berada dalam ambang kehancuran? Bohong adanya generasi emas jika tidak ada perubahan ke arah perbaikan. Kesesuaian antara pemerintah dan masyarakat harus dijembatani dengan kokoh dan elok supaya mendapat keselarasan yang lebih optimal lagi.
Bonus Demografi
Bonus demografi diprediksi akan mencapai puncaknya setelah satu abad Indonesia merdeka. Namun, perlu kita sadari bahwa semuanya tidak semerta-merta mengalir begitu saja tanpa adanya distraksi yang keras dari beberapa unsur terkait, baik itu internal maupun eksternal. Tentu, semua kemungkinan bisa terjadi, seperti berbanding terbalik antara bonus atau beban demografi yang akan ditanggung negeri ini.
Harapan dan Tujuan
Penataan ulang harus segera dilakukan, mulai dari tingkat apresiasi pemerintah terhadap generasi yang berkompeten, pembuatan regulasi yang sesuai dengan kondisi, sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, kesehatan yang harus terus ditingkatkan, pembukaan lapangan pekerjaan dengan tunjangan gaji yang sesuai kebutuhan, efisiensi anggaran yang akurat, pemerataan pembangunan yang relevan dengan keadaan, penyumbatan kebocoran anggaran yang banyak terjadi, serta pembuatan sistem perlindungan hukum yang seadil-adilnya tanpa diskriminasi dari pihak manapun.
Semua harapan yang dikonsep dan digagas secara ideal akan terlaksana jika kaum muda mampu bersatu dan bekerja sama dengan intelektualitas yang cermat, karena telah dibekali oleh mekanisme pendidikan yang relevan dengan kultur keberagaman. Ini akan menghasilkan keberhasilan yang optimal serta kecintaan terhadap tanah kelahiran yang semakin besar, sehingga mereka enggan untuk meninggalkannya. Pemerataan pendidikan melalui regulasi yang bernama kurikulum tanpa diiringi dengan kebudayaan dari setiap pelosok daerah akan menimbulkan kebebasan yang seluas-luasnya.
Mengeksplorasi berbagai ilmu pengetahuan sudah jelas sangat dianjurkan. Mengambil sumber pembelajaran boleh di mana saja, asalkan mampu membawa ke arah yang lebih baik, mampu merubah keadaan, dan menciptakan keadilan di lingkungan sekitar. Namun, cinta tanah air jangan pernah dilupakan. Tidak ada lagi hashtag #kaburajadulu dan menjelek-jelekan tanah kelahiran yang mestinya dibanggakan. Harus ada perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah dan pengertian yang ditanamkan oleh generasi penerus bangsa untuk bisa mengawal kemerdekaan, bukan malah pergi meninggalkan. Ciptakan kondisi perubahan dan keadilan untuk masyarakat. Maka, Indonesia Emas di tahun 2045 bukan hanya angan-angan semata.




