(RI) ~ Mataram, Proses pemilihan Wakil Dekan III Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Politik (FHISIP) Universitas Mataram tengah menjadi perhatian di kalangan civitas akademika. Namun sayangnya, bukan karena gagasan para calon yang mengemuka atau semangat partisipatif yang menggelora, melainkan karena prosesnya yang dinilai tertutup, senyap, dan jauh dari prinsip transparansi yang semestinya menjadi roh demokrasi kampus.
Salah satu titik persoalan yang menimbulkan polemik adalah pengunduran diri mendadak sekretaris panitia pemilihan, yang kemudian secara mengejutkan ikut mendaftarkan diri sebagai calon pada hari terakhir perpanjangan masa pendaftaran. Tindakan tersebut memang tidak serta-merta melanggar aturan formal. Namun, dari sisi etika, langkah tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan keadilan proses pemilihan.
Sebagai bagian dari panitia, yang bersangkutan memiliki akses terhadap informasi dan dinamika internal yang tidak dimiliki calon lain. Hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang serius. Demokrasi yang sehat tidak hanya menuntut kepatuhan terhadap prosedur, tetapi juga harus dilandasi oleh keadilan moral dan kesetaraan kesempatan bagi semua pihak yang berkontestasi.
Situasi ini juga menyoroti lemahnya keterbukaan dari pihak dekanat selaku pemegang otoritas struktural di tingkat fakultas. Minimnya sosialisasi terkait pembentukan panitia, ketiadaan publikasi informasi tahapan pemilihan, serta keterlibatan civitas akademika yang sangat terbatas menunjukkan adanya defisit partisipasi dalam proses yang semestinya inklusif. Pertanyaan pun mencuat: mengapa proses demokrasi kampus yang seharusnya transparan justru dijalankan dalam ruang sempit dan tertutup?
Kampus, sebagai pusat pendidikan dan pengembangan nilai-nilai luhur, memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam menjunjung tinggi demokrasi. Pemilihan pejabat struktural seperti Wakil Dekan bukan semata rutinitas administratif, melainkan cerminan kualitas tata kelola lembaga pendidikan tinggi itu sendiri. Maka dari itu, segala bentuk praktik yang menjauh dari asas keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas harus dikritisi dan diluruskan.
Demokrasi kampus yang sejati menuntut lebih dari sekadar pemenuhan prosedur. Ia membutuhkan ruang dialog, partisipasi aktif, dan komitmen terhadap etika publik. Tidak boleh ada ruang gelap dalam proses yang semestinya menjadi terang benderang. Hanya dengan itulah kampus dapat terus menjadi tempat subur bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi yang otentik dan bermartabat.
September Kelam yang Tak Pernah Usai
Jakarta, 1 September 2025. Malam itu, kantor kecil Lokataru Foundation masih terang. Delpedro Marhaen, seorang pejuang demokrasi, duduk di depan...
Dapur MBG Yayasan Ijah Arif Walbarokah Sudah Sesuai SOP
(RI) ~ Pasir Gendok, Mandala – Upaya pemenuhan gizi bagi peserta didik merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan...
Kepemimpinan Iqbal–Dinda: Menakar Visi, Misi, dan Arah Pembangunan NTB
Setiap warga Negara memiliki hak yang sama dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi...
Menguak Tabir Gerakan Sosial: Tinjauan Kritis atas Teori Deception Warfare dalam Aksi Demonstrasi di Indonesia
(RI) ~ Fenomena demonstrasi sebagai bentuk manifestasi dari gerakan sosial, sering kali dipahami sebagai ekspresi murni dari ketidakpuasan kolektif terhadap...