(RI) ~ “Pendidikan merupakan proses untuk mempertajam intelektual(mindset), memperkukuh keinginan (Prinsip), dan memperhalus perasaan (Emosionalitas).” Tan_Malaka
Dengan jelas, pendidikan itu bukan hanya membuta atau mempertajam kecerdasan dalam pemikiran, tapi juga membuat seseorang teguh dalam pendirian mengenai arah yang dituju. Tidak mudah terombang-ambing dengan pengaruh eksternal yang kurang produktif, dan mempunyai fitur yang tergagas dan terkonsep dengan rapi.
Puncaknya tercapai ketika seseorang mampu mengendalikan emosinya saat menghadapi berbagai situasi, tetap tenang, dan memilih tindakan secara bijak tanpa bersikap arogan atau dikendalikan oleh hawa nafsu.
Seorang keturunan ningrat yang dikenal dengan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara untuk mampu berbaur dengan masyarakat pribumi menengah ke bawah. Dari sini kita bisa bayangkan, seorang yang benar-benar ningrat sekalipun mengubah namanya untuk bisa berada di poros bawah. Sedangkan untuk saat ini, banyak yang bukan siapa-siapa memakai aksesori jabatannya agar disegani sebagai ningrat.
Pendidikan tertera dengan jelas untuk mendidik agar terdidik dengan rule yang semestinya. Kepedulian yang sepatutnya lebih ditanamkan untuk lingkungan sosial, seperti Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia, hingga mengganti panggilannya.
Dari dua aktivis tersebut menjelaskan bahwa sebuah ruang lingkup dari pengajaran bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan karier atau pekerjaan yang layak, tapi pola pikir yang terasah untuk mengendalikan diri dan menumbuhkan rasa kepedulian agar mampu membawa kebermanfaatan.
Revolusi industri yang semakin pesat ini membuat mindset seorang pelajar menjadi buta akan kesadaran yang diarahkan oleh para pahlawan. Keapatisan menjalar dalam benak pikiran, seolah-olah isi perut menjadi acuan dalam sebuah gerakan.
Kini bukan lagi tentang konsep dan gagasan, melainkan penghasilan yang harus didapatkan. Memang benar, hirarki psikologi yang dikemukakan oleh Maslow mengenai kebutuhan biologis: “sandang, pangan, dan papan” harus terlaksana. Namun, apakah pantas pengabdian terhadap barisan rakyat yang tertindas namun terus melawan itu dibuang ke lautan? Jelas ini momentum yang pas untuk sebuah negara diporak-porandakan.
Harapannya sudah jelas, pemikiran kiri maupun kanan perihal pendidikan mengacu kepada kepedulian, bukan lagi keangkuhan. Jika memang semua ini telah menerkam dari dulu, maka Jong Java, Jong Sumatera, Jong Maluku, dan jong lainnya tidak akan bersatu.
Maka dari itu, mari kita rawat bunga peradaban negeri ini dengan kuat dan tangguh tanpa adanya keegoisan untuk menjatuhkan satu dengan yang lain. Karena kita besar karena bersatu, bukan berpencar.
September Kelam yang Tak Pernah Usai
Jakarta, 1 September 2025. Malam itu, kantor kecil Lokataru Foundation masih terang. Delpedro Marhaen, seorang pejuang demokrasi, duduk di depan...
Dapur MBG Yayasan Ijah Arif Walbarokah Sudah Sesuai SOP
(RI) ~ Pasir Gendok, Mandala – Upaya pemenuhan gizi bagi peserta didik merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan...
Kepemimpinan Iqbal–Dinda: Menakar Visi, Misi, dan Arah Pembangunan NTB
Setiap warga Negara memiliki hak yang sama dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi...
Menguak Tabir Gerakan Sosial: Tinjauan Kritis atas Teori Deception Warfare dalam Aksi Demonstrasi di Indonesia
(RI) ~ Fenomena demonstrasi sebagai bentuk manifestasi dari gerakan sosial, sering kali dipahami sebagai ekspresi murni dari ketidakpuasan kolektif terhadap...