Jakarta, 1 September 2025. Malam itu, kantor kecil Lokataru Foundation masih terang. Delpedro Marhaen, seorang pejuang demokrasi, duduk di depan laptopnya. Tiba-tiba pintu didobrak. Tujuh hingga delapan orang masuk tanpa permisi. Ponselnya dirampas, CCTV dimatikan, dan Delpedro dibawa pergi tanpa sepatah kata pun.
Kantor mendadak sunyi. Rekan-rekan Delpedro hanya bisa tertegun. Di negeri yang katanya demokratis, kejadian seperti ini masih nyata: penangkapan tanpa alasan, tanpa surat perintah, tanpa keadilan.
Gelombang Protes dan Represi
Sejak 26–30 Agustus, ribuan orang turun ke jalan. Mereka bukan hanya mahasiswa. Ada buruh, nelayan, guru, driver ojek online, hingga rakyat kecil yang muak:
- Muak dengan pajak yang mencekik.
- Muak melihat wakil rakyat berjoget di tengah krisis.
- Muak menyaksikan aparat menindas rakyat hingga merenggut nyawa.
Gelombang kemarahan menyebar di berbagai kota. Namun seperti sejarah yang berulang, negara menjawab dengan represi. Penangkapan sewenang-wenang terjadi. Sejumlah orang bahkan hilang.
Daftar Korban
Nama-nama korban pun menyeruak, satu per satu, seperti daftar luka yang tak seharusnya ada.
Tewas dalam protes:
- Affan Kurniawan (Jakarta)
- Sarina Wati (Makassar)
- Saiful Akbar (Makassar)
- Muhammad Akbar Basri (Makassar)
- Rusdamdiansyah (Makassar)
- Sumari (Solo)
- Rheza Sendy Pratama (Yogyakarta)
- Andika Lutfi Falah (Jakarta)
- Iko Juliant Junior (Semarang)
- Septinus Sesa (Manokwari)
Hilang tanpa kabar:
- Bima Permana Putra, hilang sejak 31 Agustus.
- M. Farhan Hamid, terakhir terlihat di Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat.
- Bimo Syahputradewo, hilang sejak 30 Agustus, lokasi terakhir Mako Brimob.
Bagi keluarga, setiap hari adalah siksaan. Menunggu kabar yang mungkin tak pernah datang.
Perspektif HAM dan Hukum
Dari kacamata hak asasi manusia, semua ini adalah pelanggaran serius.
- Hak menyampaikan pendapat dan berkumpul dijamin konstitusi.
- Penangkapan tanpa surat perintah jelas melanggar hukum.
- Membatasi akses bantuan hukum berarti mencederai due process of law.
- Penghilangan paksa adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui dunia internasional.
Namun, di negeri ini sejarah “September Kelam” terus berulang. Kita pernah kehilangan mahasiswa pada Tragedi Semanggi II (1999). Kita kehilangan Munir (2004). Kini, dua dekade setelahnya, luka itu kembali menganga.
Pertanyaan yang Menggantung
Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan mencederai. Negara seharusnya memberi ruang suara, bukan menanamkan rasa takut.
Namun di tengah tragedi ini, pertanyaan terus menggema:
- Sampai kapan kita harus membayar mahal hanya untuk menyampaikan pendapat?
- Sampai kapan aparat dibiarkan menjemput paksa tanpa surat, menonaktifkan kamera, dan menghilangkan orang?
Tragedi ini bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah peringatan keras: demokrasi kita sedang sakit.
Dan jika hari ini kita memilih diam, bukan tidak mungkin, besok nama kita yang ditulis dalam daftar itu.
Oleh: Juanda Ali Sahbana