(RI) ~ Rencana pemerintah Indonesia untuk menerapkan sistem Student Loan pada tahun 2025 mendatang memicu beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Pasalnya program ini mengadopsi pola pembiayaan pendidikan berbasis pinjaman yang akan dibayarkan oleh mahasiswa setelah mereka lulus dan memperoleh pekerjaan yang sesuai kualifikasi dengan gaji diatas rata-rata. Skema tersebut disebut sebagai strategi untuk membuka peluang dan akses pendidikan tinggi seluas-luasnya, terutama bagi masyarakat dari kelompok ekonomi menengah ke bawah yang ingin melanjutkan atas pendidikannya.
Tahap Implementasi
Dalam praksisnya ini melibatkan kerja sama antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), perbankan nasiona (PN), dan Kementerian Keuangan (Kemenku). Masing-masing institusi memiliki peran kunci : mulai dari penyediaan dana, manajemen risiko, hingga mekanisme pemotongan gaji secara otomatis setelah alumni memasuki dunia kerja yang sesuai.
Sudut Pandang
Namun, keberhasilan implementasi Student Loan tidak dapat dilihat secara sempit sebagai perluasan akses semata, karena Indonesia memiliki dinamika pasar tenaga kerja yang berbeda dibanding negara-negara maju yang telah lama mengadopsi skema serupa, Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura menjadi beberapa negara yang telah memakai sistem tersebut. Tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan tersebut masih relatif tinggi, sementara mismatch antara latar belakang pendidikan dan kebutuhan industri menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua.
Permasalahan Fundamental
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan fundamental : sejauh mana jaminan terserapnya lulusan ke dunia kerja mampu mengimbangi beban finansial baru yang ditanggung oleh mahasiswa dalam bentuk utang pendidikan ? Kalau tidak adanya reformasi besar-besaran dalam sistem penyaluran tenaga kerja yang mampu menyerap jumlah yang banyak dan penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri, skema ini berpotensi menjadi jebakan struktural bagi orang yang mendapatkan gagasan tersebut. Mahasiswa bisa terjerat dalam siklus utang jangka panjang tanpa kepastian penghasilan yang memadai karena sulitnya lapangan pekerjaan.
Problem Psikologis
Lebih dari itu, beban psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh kewajiban melunasi pinjaman pasca-kelulusan dapat berdampak pada pilihan karier, gaya hidup, hingga kesejahteraan mental generasi muda untuk kedepannya. Di negara-negara yang menerapkan sistem ini sekalipun, seperti AS, krisis utang mahasiswa telah menjadi isu sosial yang pelik.
Langkah Kongkret
Oleh karena itu, jika negara benar-benar hendak menerapkan Student Loan sebagai instrumen keadilan pendidikan, maka pendekatan yang digunakan tidak boleh sekadar normatif saja. Diperlukan regulasi yang adaptif, transparansi dalam pelaksanaan, dan pengawasan ketat terhadap mitra lembaga keuangan. Terlebih lagi, pemerintah perlu memastikan bahwa kualitas pendidikan tinggi di seluruh wilayah Indonesia telah memenuhi standar minimum yang layak, sehingga pinjaman yang diberikan benar-benar berbanding lurus dengan nilai tambah pendidikan yang diterima oleh mahasiswa.
Student Loan dapat menjadi solusi strategis dalam memperluas akses pendidikan tinggi, akan tetapi juga dapat berbalik menjadi bom waktu jika tidak disertai dengan pembenahan sistemik dalam ekosistem pendidikan dan ketenagakerjaan. Perencanaan yang matang, partisipasi publik, serta analisis risiko yang komprehensif menjadi syarat mutlak sebelum kebijakan ini benar-benar dijalankan.
