(RI) ~ Kematian seorang driver ojek online yang dilindas mobil rantis milik Brimob Polri menjadi tragedi yang mengguncang nurani publik. Peristiwa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Ia adalah cermin telanjang dari relasi negara dan rakyat yang semakin timpang: aparat dengan kekuasaan dan persenjataannya berhadapan dengan warga sipil yang lemah dan tak berdaya.
Dari perspektif politik, insiden ini menunjukkan betapa rapuhnya kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang aman bagi rakyat untuk hidup dan berekspresi, justru berubah menjadi demokrasi yang penuh darah dan ketakutan. Alih-alih menjadi pelindung, negara kian hari tampil sebagai entitas represif yang tidak segan mengorbankan rakyat demi menjaga stabilitas semu.
Dari perspektif hukum, tragedi ini menyisakan persoalan serius mengenai impunitas aparat. Sejarah panjang menunjukkan, dalam banyak kasus serupa, penegakan hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Publik pun bertanya: apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua, atau hanya menjadi alat yang menjerat rakyat kecil, sementara aparat negara kerap lolos dari tanggung jawab?
Secara sosial, peristiwa ini memperlihatkan bagaimana nyawa rakyat kian kehilangan nilai di mata negara. Seorang pencari nafkah yang berjuang setiap hari, justru kehilangan hidupnya di bawah roda kendaraan aparat. Tragedi ini membuat publik merasa tidak lagi aman di rumahnya sendiri—negara.
Oleh karena itu, tragedi ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai insiden tragis, tetapi momentum untuk melakukan koreksi mendasar terhadap arah demokrasi, sistem hukum, dan tata kelola aparat keamanan kita. Tanpa langkah serius dan transparan dari pemerintah dan kepolisian, kepercayaan publik akan terus terkikis. Dan ketika legitimasi moral negara runtuh, sejarah membuktikan, rezim apa pun tidak akan mampu bertahan lama.