(RI) ~ Aksi unjuk rasa pada 30 Agustus di Nusa Tenggara Barat (NTB) bermula di Mapolda NTB dengan agenda utama menyampaikan tuntutan rakyat. Sejak awal, komitmen massa aksi adalah agar Kapolda NTB secara langsung menemui dan menerima aspirasi, bukan Wakapolda. Karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi, massa kemudian bergeser menuju kantor DPRD NTB.
Namun, kejanggalan mencuat ketika sebelum massa tiba, gedung DPRD NTB sudah lebih dahulu terbakar. Situasi semakin tidak kondusif dengan munculnya aksi perusakan. Menyadari eskalasi tersebut, para pimpinan lembaga yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB segera turun tangan untuk mengamankan serta menarik massa agar tidak terjebak dalam tindakan yang merugikan bersama.
Pertanyaan serius muncul terkait minimnya pengamanan, khususnya di kantor DPRD NTB. Lazimnya, aksi-aksi besar selalu dikawal ketat sehingga hampir mustahil massa bisa masuk ke dalam gedung. Namun pada 30 Agustus, pengamanan justru longgar, bahkan terkesan memberi ruang bagi terjadinya chaos. Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya skenario terselubung untuk menggiring opini publik bahwa gerakan rakyat identik dengan anarkisme.
Padahal, kemarahan rakyat tidak lahir tiba-tiba. Ada akumulasi kekecewaan yang menumpuk, antara lain:
- Kebijakan kenaikan tunjangan DPR,
- Penerapan pajak PBB di berbagai daerah,
- Proses legislasi RKUHAP yang cacat formil karena minim partisipasi publik,
- Sejumlah pasal dalam RKUHAP yang berpotensi merugikan masyarakat,
- Isu lokal seperti dana siluman di kawasan Mandalika, serta berbagai persoalan nasional lainnya.
Gelombang kritik kian masif, baik di media sosial maupun lewat demonstrasi langsung. Ironisnya, respons pemerintah dan elit DPR justru kontraproduktif, bahkan ditunjukkan dengan gestur joget-joget di ruang publik yang melukai perasaan rakyat.
Puncak kemarahan terjadi ketika seorang pengemudi ojek online (ojol) dilindas aparat saat aksi, yang kemudian memicu eskalasi protes di berbagai daerah. Peristiwa ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mendengar suara rakyat sehingga melahirkan ledakan sosial.
Meski begitu, kuat dugaan bahwa kericuhan tidak sepenuhnya murni dari massa aksi. Banyak aktor tidak dikenal yang diduga sengaja hadir untuk memprovokasi dan memperkeruh suasana.
Jika ditarik ke dalam kerangka sejarah, pola semacam ini bukanlah hal baru. Kekuasaan kerap membiarkan chaos, memasukkan provokator, lalu membalikkan narasi agar publik melihat rakyat sebagai biang kerusuhan. Akibatnya, substansi tuntutan rakyat tertutupi oleh framing anarkis yang dimainkan oleh pihak tertentu.
Aksi 30 Agustus harus dipahami bukan sekadar letupan emosional, melainkan akumulasi dari kebijakan yang menindas. Jika pola lama ini terus dibiarkan, gerakan rakyat akan selalu diposisikan salah, sementara akar persoalan tidak pernah benar-benar diselesaikan.
#SegeraMembaikIndonesiaku 🇮🇩
#PanjangNafasPerjuangan 🌻